Home

Jumat, 07 Juli 2017

Mahalnya Harga Pernikahan

Idul fitri baru saja kita lewati, dengan berbagai macam pernak-perniknya, dengan segala kesibukan dan kemacetan lalu-lintas kota. Jalanan seolah mendadak menjadi parkiran terpanjang dan terhebat yang pernah ada, dari arus mudik kemudian seremonial silahturahim yang menjadi budaya orang-orang kita, sampai yang terahir adalah perjalanan arus balik. Semua berlomba ingin secepatnya sampai ketujuan, rasa lelah yang tidak terhitung jumlahnya, lenyap seketika. Sekarang hanya menyisakan sisa-sisa dari sebuah hari besar umat, dan menyusul persiapan-persiapan yang lain.

Minggu-minggu setelah perayaan itu, undangan pernikahan mulai berdatangan, momen libur panjang yang sangat sepesial, keluarga, kerabat, kawan sejawat berdatangan, moment lebaran, semua orang pasti pulang ke kampung halaman dengan harapan yang sagat besar. Disaat itulah beberapa membaca peluang untuk merayakan hari yang sakral, upacara pernikahan. Dengan segala proses yang dilalui, kenakalan remaja, cinta monyet dan pembicaraan jangka panjang seolah semua itu akan terlewati dengan damai nan indah. Persiapan dilakukan, semua peralatan dibeli dan disewa, kerabat serta tetangga sibuk menyiapkan, dengan harapan acara akan dapat sepenuhnya berjalan lanjar, tanpa mengurangai kewibawaan sang punya hajat. Semua berharap canda-tawa dan tangis haru akan ada disana.

Namun, dibalik itu semua, ada sebuah lubang besar yang menganga, ada sebuah ironi membawa serta konsekuensi. Hal itu adalah persepsi pernikahan, budaya yang membawa kesakralan menjadi pesta-pesta dengan bamyak keluh, gunjing, peluh, kemubaziran dan topeng-topeng bahagia. Resepsi yang "harus" dilakukan menyisakan hutang dimana-mana jika isi kotak tidak berimbang dengan pengeluaran pesta, mungkin ini sebuah bisnis baru. Resepsi menyisakan gunjing jika semua persiapan tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat atau ekpektasi dari yang membantu penyiapan resepsi, tentang dagingnya yang sedikit, tentang rokoknya, tentang pelitnya tuan rumah, tentang banyak hal.
 Dan resepsi pernikahan akan menyisakan kemubaziran karena banyak hal yang terbuang secara sia-sia, berapa banyak nasi, lauk-pauk, sayuran, roti, air minum dan segalanya setelah pesta selesai, dengan dalih tasyakuran orang-orang rela merogoh kocek dengan nominal fantastis hingga menjual sebagian dari harta mereka, dengan beberapa kebiasaan adat istiadat yang berbeda disetiap daerah, Provinsi Lampung misalnya, harus melakukan hal tersebut selama tujuh hari tujuh malam (katanya),
bagaimana dengan artis-artis, tokokh-tokoh nasional serta elit politik yang menggelar resepsi anaknya, sungguh bukan contoh yang baik bagi negarawan dan figur publik, sedang jika dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, nilai tersebut dapat menghidupi beberapa minggu orang-orang yang memang dianggap pantas menerima bantuan, jika prof mungkin lebih baik untuk modal usaha, menjadi wirausaha berhenti menjadi karyawan. Jadi untuk apa bermegah-megah dalam melukan pernikahan? pamer ? tidak enak dengan tetangga atau sambil menepuk dada dengan bangga berkata "inilah saya", saya katakan itu tidak perlu sama sekali, bukan sesuatu yang penting dan Tuhan tidak menilaimu dengan sebuah jamuan yang berlih-lebihan.

Ini adalah budaya yang harus segera diahiri, jika menganut paham islam, segala sesuatu harunya sesuai dengan kebutuhan, sederhana, tidak berlebih-lebihan, bahkan dalam salah satu ayat dalam Al-Qur'anil karim, Allah tidak menyuai hal yang berlebih-lebihan. Jika menarik poinya, islam mengajarkan menikah hanya perlu calon mempelai, wali, saksi dan ijab Qabul yang kemudian dikabarkan ketetangga agar tidak menimbulkan fitnah. 

Kemudian bicara tasyakuran, untuk melakukan banyak sekali bentuknya, mulai dari budaya kenduri atau yang paling sederhana adalah mengirim bingkisan disertai berita gembira. Dengan sistem gotong royong, orang-orang kita suka sekeli dengan sumbang-menyumbang, mulai dari berupa uang atau berupa non uang, bisa berupa beras, sayur mayur, tenaga atau yang lainnya, semua atas dasar iklas. 
Jaman sudah berubah, orientasi sudah bergeser pun dengan nilai-nilai lambat laun semakin memudar. Sumbangan berubah seperti arisan, pinjaman dan bentuk lain dengan sistem ketika dulu memberi lima harus mengembalikan lima, syukur lebih. peradaban moderen yang menghilangkan nilai dan hati.

Sebuah catatan kecil, auto-kritik penulis bagi diri sendiri dan masyarakat tentang semakin rancu dan abstraknya sebuah jaman. Mari memulai dari diri sendiri, keluarga kemudian biarkan orang lain berfikir tentang lingkungannya, tentang kebiasannya, apakah ini akan terus berlanjut ataukah dapat menjadi orang-orang asing yang akan kembali asing, sebab hanya orang asing yang akan meluruskan segala sesuatu yang salah. Jelas sekali prof sebagai penulis masih terus belajar dan belajar, terimakasih telah membaca dan mari berdiskusi

1 komentar:

  1. Menarik dan mendobrak paradigma... walau masih kurang banyak tulisannya

    BalasHapus