Home

Rabu, 19 Juli 2017

etika kepemimpinan, studi kasus pembangunan pasar

Cerita ini hanya Fiktif, kesamaan latar belakang, lokasi serta nama bukan karena Kesengajaan penulis :p

Akhir-akhir ini, didesa saya sedang ramai dengan pembangunan pasar tradisional yang rencananya akan menggunakan Apbn senilai 6 (Enam) Milyard rupiah. Akan sangat megah segali jika dana tersebut digunakan dengan baik, dan desa kami mungkin menjadi Pasar paling mentereng sekabupaten.

Hal-hal baik akan timbul, tertatanya lapak-lapak pedagang, kebersihan, teknologi, tata kelola pasar, pasar tradisional modern pertama, ya sekali lagi.., tidak hanya itu saja, hal tersebut juga di ikuti seperti naiknya harga tanah sekitarnya, termasuk tanah orang tua saya mungkin, kemudian desa kami akan lebih dikenal dengan bantuan tersebut, President sudah berusaha dengan baik terkait dengan programnya dulu.

Selasa, 11 Juli 2017

Lupa itu Nikmat

Selamat datang pagi, mebawa udara segar masuk kedalam tubuh, membawa kesejekuan serta harapan-harapan baru untuk diperjuangkan kembali, pagi adalah titik awal yang baru, dimana kita bangkit dari sebuah rencana untuk segera mengeksekusinya. Seperti tulisan-tulisan ini, tidak pernah berhenti untuk mengajak berpikir dan berhayal sejenak.

Setiap orang, balita, anak-anak, remaja ataupun dewasa, lupa adalah salah satu sifat alamiah manusia. Prof tidak tahu sejak kapan lupa menjadi kata sifat, mungkin karena lupa identik dengan kata sambungan "sifat" jadilah "sifat pelupa", mungkin seseorang disana mengkelompokan lupa menjadi kata benda atau yang lainya, tapi itu bukan sesuatu hal yang penting untuk dibahas sekarang, hanya untuk menambah agar tulisan ini terkesan banyak pada paragraf pertama, padahal bukanlah hal yang penting sama sekali, tapi terimakasih untuk terus membaca.

Dalam perspektif agama, banyak literatur yang mengatakan bahwa sifat lupa ini dikarenakan beberapa sebab, salah satunya yang paling banyak keluar di mesin pencari adalah karena terlalu banyak melakukan maksiat. oke itu mungkin sebagian kebenaran yang kecil jika dianalisis, namun kebenaran harus dibuktikan dengan sebuah penelitian-penilitian, atau hasil penelitian seperti jurnal ilmiah, tesis atau beberapa diskusi ilmiah didalam forum-forum. Ini bukan alibi atau sekedar pledoi saya karena saya seorang pelupa berat, tapi mari kita berobjektif dalam segala hal. saya kesal sekali jika lupa meletakan kacama mata, jika indra penciuman berkerja dengan baik, mungkin akan lebih mudah mencari kecamata dengan minus berapapun.

Jumat, 07 Juli 2017

Mahalnya Harga Pernikahan

Idul fitri baru saja kita lewati, dengan berbagai macam pernak-perniknya, dengan segala kesibukan dan kemacetan lalu-lintas kota. Jalanan seolah mendadak menjadi parkiran terpanjang dan terhebat yang pernah ada, dari arus mudik kemudian seremonial silahturahim yang menjadi budaya orang-orang kita, sampai yang terahir adalah perjalanan arus balik. Semua berlomba ingin secepatnya sampai ketujuan, rasa lelah yang tidak terhitung jumlahnya, lenyap seketika. Sekarang hanya menyisakan sisa-sisa dari sebuah hari besar umat, dan menyusul persiapan-persiapan yang lain.

Minggu-minggu setelah perayaan itu, undangan pernikahan mulai berdatangan, momen libur panjang yang sangat sepesial, keluarga, kerabat, kawan sejawat berdatangan, moment lebaran, semua orang pasti pulang ke kampung halaman dengan harapan yang sagat besar. Disaat itulah beberapa membaca peluang untuk merayakan hari yang sakral, upacara pernikahan. Dengan segala proses yang dilalui, kenakalan remaja, cinta monyet dan pembicaraan jangka panjang seolah semua itu akan terlewati dengan damai nan indah. Persiapan dilakukan, semua peralatan dibeli dan disewa, kerabat serta tetangga sibuk menyiapkan, dengan harapan acara akan dapat sepenuhnya berjalan lanjar, tanpa mengurangai kewibawaan sang punya hajat. Semua berharap canda-tawa dan tangis haru akan ada disana.

Namun, dibalik itu semua, ada sebuah lubang besar yang menganga, ada sebuah ironi membawa serta konsekuensi. Hal itu adalah persepsi pernikahan, budaya yang membawa kesakralan menjadi pesta-pesta dengan bamyak keluh, gunjing, peluh, kemubaziran dan topeng-topeng bahagia. Resepsi yang "harus" dilakukan menyisakan hutang dimana-mana jika isi kotak tidak berimbang dengan pengeluaran pesta, mungkin ini sebuah bisnis baru. Resepsi menyisakan gunjing jika semua persiapan tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat atau ekpektasi dari yang membantu penyiapan resepsi, tentang dagingnya yang sedikit, tentang rokoknya, tentang pelitnya tuan rumah, tentang banyak hal.
 Dan resepsi pernikahan akan menyisakan kemubaziran karena banyak hal yang terbuang secara sia-sia, berapa banyak nasi, lauk-pauk, sayuran, roti, air minum dan segalanya setelah pesta selesai, dengan dalih tasyakuran orang-orang rela merogoh kocek dengan nominal fantastis hingga menjual sebagian dari harta mereka, dengan beberapa kebiasaan adat istiadat yang berbeda disetiap daerah, Provinsi Lampung misalnya, harus melakukan hal tersebut selama tujuh hari tujuh malam (katanya),
bagaimana dengan artis-artis, tokokh-tokoh nasional serta elit politik yang menggelar resepsi anaknya, sungguh bukan contoh yang baik bagi negarawan dan figur publik, sedang jika dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, nilai tersebut dapat menghidupi beberapa minggu orang-orang yang memang dianggap pantas menerima bantuan, jika prof mungkin lebih baik untuk modal usaha, menjadi wirausaha berhenti menjadi karyawan. Jadi untuk apa bermegah-megah dalam melukan pernikahan? pamer ? tidak enak dengan tetangga atau sambil menepuk dada dengan bangga berkata "inilah saya", saya katakan itu tidak perlu sama sekali, bukan sesuatu yang penting dan Tuhan tidak menilaimu dengan sebuah jamuan yang berlih-lebihan.

Ini adalah budaya yang harus segera diahiri, jika menganut paham islam, segala sesuatu harunya sesuai dengan kebutuhan, sederhana, tidak berlebih-lebihan, bahkan dalam salah satu ayat dalam Al-Qur'anil karim, Allah tidak menyuai hal yang berlebih-lebihan. Jika menarik poinya, islam mengajarkan menikah hanya perlu calon mempelai, wali, saksi dan ijab Qabul yang kemudian dikabarkan ketetangga agar tidak menimbulkan fitnah. 

Kemudian bicara tasyakuran, untuk melakukan banyak sekali bentuknya, mulai dari budaya kenduri atau yang paling sederhana adalah mengirim bingkisan disertai berita gembira. Dengan sistem gotong royong, orang-orang kita suka sekeli dengan sumbang-menyumbang, mulai dari berupa uang atau berupa non uang, bisa berupa beras, sayur mayur, tenaga atau yang lainnya, semua atas dasar iklas. 
Jaman sudah berubah, orientasi sudah bergeser pun dengan nilai-nilai lambat laun semakin memudar. Sumbangan berubah seperti arisan, pinjaman dan bentuk lain dengan sistem ketika dulu memberi lima harus mengembalikan lima, syukur lebih. peradaban moderen yang menghilangkan nilai dan hati.

Sebuah catatan kecil, auto-kritik penulis bagi diri sendiri dan masyarakat tentang semakin rancu dan abstraknya sebuah jaman. Mari memulai dari diri sendiri, keluarga kemudian biarkan orang lain berfikir tentang lingkungannya, tentang kebiasannya, apakah ini akan terus berlanjut ataukah dapat menjadi orang-orang asing yang akan kembali asing, sebab hanya orang asing yang akan meluruskan segala sesuatu yang salah. Jelas sekali prof sebagai penulis masih terus belajar dan belajar, terimakasih telah membaca dan mari berdiskusi

Jumat, 30 Juni 2017

Sebuah Nilai Untuk Masa Depan


Duduk diantara rerumputan hijau, berteduh dari gerimisnya sore ini. Melihat ikan yang begitu lahapnya mengais makanan sisa yang prof berikan tadi sebelum menulis tatanan kata ini. Bercengkrama dengan istri lalu mendapatkan ide tulisan. 
Masih tentang hidup, dimana usia kita semakin lama semakin bertambah, namun hal yang paling menyebalkan adalah kita belum berbuat apa-apa, seperti kata Abraham Lincoln, “Pada akhirnya, bukanlah tahun-tahun dalam hidup anda yang dihitung. Tetapi hidup anda dalam tahun-tahun andalah yang dihitung”. Bagi prof ini sebuah determinasi yang hebat, beberapa tahun tidak memberikan manfaat apapun bagi sesama, umur sudah hampir kepala tiga, sebentar lagi kepala empat, lima atau bahkan kembali kepada Tuhan, who knows..
Kita adalah bangsa pejuang, dengan semangat melawan kita merdeka, kata tokoh nasional, secara spesifik Rasulullah mengatakan ada sebuah perang yang lebih dasyat, lebih besar dari perang badar, yaitu perang melawan diri sendiri. Dari gabungan kalimat tersebut, manusia adalah mahluk yang super jika bisa melawan diri sendiri, jiwa yang merdeka yang mempu menggerakan dunia, lihat tokoh-tokoh besar, walau rata-rata hidupnya hanya sebentar, mereka mampu menulis sejarah untuk dirinya sendiri dan untuk dunia, nama mereka dikenang dan abadi dalam buku-buku yang menjadi pedoman untuk generasi berikutnya.

Kemudian kita sebagai generasi penerus, belum berbuat apa-apa, berkutat dengan dunianya sendiri, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya yang tidak akan dikenang oleh siapapun kecuali hanya akan menjadi perebutan untuk keluarga yang ditinggalkan. Berbeda sekali dengan para pelaku sejarah, meninggalkan nilai-nilai yang ketika diperebutkan akan menjadi nilai yang terus berkembang untuk kemajuan baradaban.
Kita adalah sebuah bidak pion dalam permainan catur, ketika kita melangkah satu demi satu, mencapai garis lawan, kita bisa menjadi apa yang kita mau. Berproses untuk memberikan nilai tambah, menjadi pemilik nilai, melahirkan peradaban baru, melawan arus budaya masyarakat dengan kenyamanan palsu, melawan, dengan melawan kita menjadi pemenang.

Kita hidup dimana banyak kerancuan paradigma, kerancuan budaya dan kerancuan-kerancuan yang mulai mengakar kuat. Kita adalah kaum intelegensi bertindak berbuat sesuatu, bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari arus-arus sosial yang kacau tetapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya apabila keadaan telah mendesak, kaum intelegensi yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua nilai kemanusiaan kata Soe Hoek Gie. Apakah kita sudah melunturkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri menurut tolak ukur soe, atau kita hanya barisan daging-daging berjalan tanpa arah tujuan simbolisasi modernitas dan hegemoni jaman yang semakin kacau?
Ditangan kita tergenggam arah bangsa, ditangan pemuda-pemuda yang berfikir kritis terhadap kekacauan sosial, generasi emas akan lahir, dari sekarang, untuk masa depan dan kesadaran berfikir yang lebih baik.

Maka bijaklah seorang Abraham Lincoln..

Kamis, 29 Juni 2017

comback

Aku terdiam di pojok taman, menatap langit-langit yang baru saja menghujamkan airnya kedaratan. Mungkin ini malam dimana aku banyak merenung banyak hal, mungkin juga ini malam dengan pemikiran yang akan mempengaruhiku dimasa depan. Kita tidak dapat kembali, menyesal dengan masa lalu, yang mampu kita lakukan adalah memperbaiki keadaan.
Tanah-tanah basah, lampu yang menerangi halam belakang rumah mertua indah ini memberi kenyamanan untuk kembali berkata-kata pada tempatnya, yang sudah lama sekali aku rindukan. Menekan tombol-tombol pada keyboard computer milik istriku, sembari sesekali membaca keadaan berita dunia yang semakin rumit saja, membuat kegelisahan sosial yang semakin menjadi. aku terus merenung bagaimana kehidupan ini berjalan begitu cepat, secepat perjalanan pesawat dari ibu kota ketempat asalaku berada. Cepat sekali. Rasanya baru kemarin aku duduk santai di Hik (angkringan) tempat biasa nongkrong dengan kawan sejawat, sekarang lihatlah, sudah empat tahun hal itu berlalu.
Menulis sama seperti hidup, mengalir dengan tatanan kata dengan penuh makna, memilih prosa agar enak dibaca, memilih alur dan plot. Menulis adalah menandai, seperti prasasti pada batu-batu yang dibuat nenek moyang dulu, agar generasi berikutnya dapat memahami, agar generasi berikutnya melanjutkan proses yang sudah kita lewati.
Suara tetesan air hujan dari ranting-ranting pohon masih menghiasi, serangga dan binatang malam seperti lagu yang tidak pernah habis menghiburku malam ini. Menemani duduk santai dengan asap mengepul dimulutku, tapi nyamuk ini sungguh membuat tanganku harus sesekali beralih dari keybord computer.
Tulisan ini semoga menandai kembali prof yang tidak akan pernah kehabisan kata-kata untuk memulai petualangannya di dunia tulisan web, dengan khas kita pernah belajar bersama dalam kehidupan, membelah pemikiran tentang hal yang tidak pernah orang lain pikirkan, problemantika kehidupan yang sering orang lain jumpai, tentang banyak hal.

selamat datang kembali prof.