Home

Jumat, 30 Juni 2017

Sebuah Nilai Untuk Masa Depan


Duduk diantara rerumputan hijau, berteduh dari gerimisnya sore ini. Melihat ikan yang begitu lahapnya mengais makanan sisa yang prof berikan tadi sebelum menulis tatanan kata ini. Bercengkrama dengan istri lalu mendapatkan ide tulisan. 
Masih tentang hidup, dimana usia kita semakin lama semakin bertambah, namun hal yang paling menyebalkan adalah kita belum berbuat apa-apa, seperti kata Abraham Lincoln, “Pada akhirnya, bukanlah tahun-tahun dalam hidup anda yang dihitung. Tetapi hidup anda dalam tahun-tahun andalah yang dihitung”. Bagi prof ini sebuah determinasi yang hebat, beberapa tahun tidak memberikan manfaat apapun bagi sesama, umur sudah hampir kepala tiga, sebentar lagi kepala empat, lima atau bahkan kembali kepada Tuhan, who knows..
Kita adalah bangsa pejuang, dengan semangat melawan kita merdeka, kata tokoh nasional, secara spesifik Rasulullah mengatakan ada sebuah perang yang lebih dasyat, lebih besar dari perang badar, yaitu perang melawan diri sendiri. Dari gabungan kalimat tersebut, manusia adalah mahluk yang super jika bisa melawan diri sendiri, jiwa yang merdeka yang mempu menggerakan dunia, lihat tokoh-tokoh besar, walau rata-rata hidupnya hanya sebentar, mereka mampu menulis sejarah untuk dirinya sendiri dan untuk dunia, nama mereka dikenang dan abadi dalam buku-buku yang menjadi pedoman untuk generasi berikutnya.

Kemudian kita sebagai generasi penerus, belum berbuat apa-apa, berkutat dengan dunianya sendiri, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya yang tidak akan dikenang oleh siapapun kecuali hanya akan menjadi perebutan untuk keluarga yang ditinggalkan. Berbeda sekali dengan para pelaku sejarah, meninggalkan nilai-nilai yang ketika diperebutkan akan menjadi nilai yang terus berkembang untuk kemajuan baradaban.
Kita adalah sebuah bidak pion dalam permainan catur, ketika kita melangkah satu demi satu, mencapai garis lawan, kita bisa menjadi apa yang kita mau. Berproses untuk memberikan nilai tambah, menjadi pemilik nilai, melahirkan peradaban baru, melawan arus budaya masyarakat dengan kenyamanan palsu, melawan, dengan melawan kita menjadi pemenang.

Kita hidup dimana banyak kerancuan paradigma, kerancuan budaya dan kerancuan-kerancuan yang mulai mengakar kuat. Kita adalah kaum intelegensi bertindak berbuat sesuatu, bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari arus-arus sosial yang kacau tetapi mereka tidak bisa lepas dari fungsi sosialnya yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya apabila keadaan telah mendesak, kaum intelegensi yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua nilai kemanusiaan kata Soe Hoek Gie. Apakah kita sudah melunturkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri menurut tolak ukur soe, atau kita hanya barisan daging-daging berjalan tanpa arah tujuan simbolisasi modernitas dan hegemoni jaman yang semakin kacau?
Ditangan kita tergenggam arah bangsa, ditangan pemuda-pemuda yang berfikir kritis terhadap kekacauan sosial, generasi emas akan lahir, dari sekarang, untuk masa depan dan kesadaran berfikir yang lebih baik.

Maka bijaklah seorang Abraham Lincoln..

Kamis, 29 Juni 2017

comback

Aku terdiam di pojok taman, menatap langit-langit yang baru saja menghujamkan airnya kedaratan. Mungkin ini malam dimana aku banyak merenung banyak hal, mungkin juga ini malam dengan pemikiran yang akan mempengaruhiku dimasa depan. Kita tidak dapat kembali, menyesal dengan masa lalu, yang mampu kita lakukan adalah memperbaiki keadaan.
Tanah-tanah basah, lampu yang menerangi halam belakang rumah mertua indah ini memberi kenyamanan untuk kembali berkata-kata pada tempatnya, yang sudah lama sekali aku rindukan. Menekan tombol-tombol pada keyboard computer milik istriku, sembari sesekali membaca keadaan berita dunia yang semakin rumit saja, membuat kegelisahan sosial yang semakin menjadi. aku terus merenung bagaimana kehidupan ini berjalan begitu cepat, secepat perjalanan pesawat dari ibu kota ketempat asalaku berada. Cepat sekali. Rasanya baru kemarin aku duduk santai di Hik (angkringan) tempat biasa nongkrong dengan kawan sejawat, sekarang lihatlah, sudah empat tahun hal itu berlalu.
Menulis sama seperti hidup, mengalir dengan tatanan kata dengan penuh makna, memilih prosa agar enak dibaca, memilih alur dan plot. Menulis adalah menandai, seperti prasasti pada batu-batu yang dibuat nenek moyang dulu, agar generasi berikutnya dapat memahami, agar generasi berikutnya melanjutkan proses yang sudah kita lewati.
Suara tetesan air hujan dari ranting-ranting pohon masih menghiasi, serangga dan binatang malam seperti lagu yang tidak pernah habis menghiburku malam ini. Menemani duduk santai dengan asap mengepul dimulutku, tapi nyamuk ini sungguh membuat tanganku harus sesekali beralih dari keybord computer.
Tulisan ini semoga menandai kembali prof yang tidak akan pernah kehabisan kata-kata untuk memulai petualangannya di dunia tulisan web, dengan khas kita pernah belajar bersama dalam kehidupan, membelah pemikiran tentang hal yang tidak pernah orang lain pikirkan, problemantika kehidupan yang sering orang lain jumpai, tentang banyak hal.

selamat datang kembali prof.